Oleh : Yuddin Chandra Nan Arif
(Dosen Tetap Yayasan STIHM Bima & Advokat)
Otoritas teori diri hukum sebagai suatu kefaktaan harus merupakan batas sekaligus parameter kemampuan diri hukum yang memang terkadang terjadi pertentangan antara nilai-nilai sebagai sebuah kesatuan yang berpasangan pada diri hukum yang akhirnya akan melahirkan suatu identitasnya tersendiri dalam kesemuannya sebagai respek dari kesempurnaan diri dengan teori bahwa kesempurnaan adalah kesatuan dari pertentangan untuk tampil sebagi otoritas yang sebenarnya.
(Dosen Tetap Yayasan STIHM Bima & Advokat)
Otoritas teori diri hukum sebagai suatu kefaktaan harus merupakan batas sekaligus parameter kemampuan diri hukum yang memang terkadang terjadi pertentangan antara nilai-nilai sebagai sebuah kesatuan yang berpasangan pada diri hukum yang akhirnya akan melahirkan suatu identitasnya tersendiri dalam kesemuannya sebagai respek dari kesempurnaan diri dengan teori bahwa kesempurnaan adalah kesatuan dari pertentangan untuk tampil sebagi otoritas yang sebenarnya.
Konsistensi, subyektifitas obyektif, obyektifitas subyektif dan substansi yang sistemik dan terukur oleh dalih dan rektorika etika yang dasarnya plural adalah pintu kesempurnaan paradigma hukum yang sebenarnya. Terlalu sering menjadi subyek sekaligus obyek bagi perlakuan tunggal, akan melahirkaan identitas yang tidak bergantung pada bentuk etis plural tampilan pribadi hukum sebagai suatu bentuk keseluruhan yang prinsipil pada keotoriteran. Sebagai bentuk diri teori pendobrak hukum kesempurnaan, kefaktaan yang pertama adalah dikotomi yang saling menyapa dan melengkapi dalam satu kesatuan bentuk yang utuh, kefaktaan yang terakhir adalah ketunggalan diri hukum pada wajah hukum tunggal yang diciptakan dengan plural yang ada untuk saling bertoleransi.
Terlepas dari perbedaan dan silang selisih antara beberapa paham (dalam hal ini kami mengangkat dua paham besar sebagai keterwakilan dari semuanya) – antara doctrinal dan nondoktrinal. Esmi warassih menjelaskan : “Sesungguhnya perbedaan tersebut hanya mau menununjukkan adanya perkembangan kreatifitas manusia dalam upayanya untuk membangun pemahaman yang benar tentang pranata yang namaya hukum itu”[1].
Tidaklah memadai kalau hukum hanya dilihat dari satu sudut pandang (perspektif) saja. Dengan segala kelebihan dan kelemahannya, semua perspektif yang dipakai untuk melihat diri hukum harus saling melengkapi dan saling menyapa, bukan saling menegasi dan saling mengklaim diri sebagai yang paling benar sendiri. Virus mau menang sendiri dalam studi hukum yang normative dan sosiologis tampaknya ikut mengganggu pola pikir para pakar hukum (akademisi) dan praktisi hukum. Perbedaan pandangan atau pendapat dalam dunia akademik (khususnya dunia hukum) merupakan sesuatu yang wajar, dan bahkan merupakan sesuatu yang dianjurkan, namun kalau sampai menegasi dan menghancurkan merupakan hal yang harus dihindarkan.
Hal inilah yang menjadi focus dalam konteks pintu paradigma kesempurnaan teori hukum yang sebagaimana Esmi Warassih mengatakan bahwa :
Strategi pendidikan hukum yang demikian itu dimaksudkan untuk bisa mendapatkan tampilan wajah hukum yang sesungguhnya. Itu berarti, baik studi-studi normative maupun sosiologis, antropologis, psikologis, politik, ekonomi dan sebagainya ikut dikembangkan bersama-sama… agar penggalan-penggalan wajah hukum yang dikemukakan olek masing-masing perspektif dapat disatukan menjadi satu kesatuan wajah hukum yang utuh[2].
Dengan menggunakan asumsi terbalik, ini berarti sesungguhnya pembodohan dirilah yang akan tampil jika penolakan pluralitas/keberagaman teori hukum dikedepankan dengan ego kebenaran tunggal. Untuk kebenaran paling benar, pemahaman dalam berdalih akan merupakan sebuah penyangkalan realitas diri hukum yang sebenarnya. Hukum harus tampil dalam teori diri yang tanpa topeng kerancuan dan keterbalikan akan keadaan diri sebagai pintu untuk menuju paradigma kesepurnaan dalam menciptakan teori hukum pendobrak yang membentuk keaslian diri hukum.
Merujuk pada madzhab-madzhab Ilmu Hukum yang dikenal, ada beberapa cara melakukan refleksi dan relevansi terhadapnya. Teori dan metode pendobrak sangat diharapkan dalam konteks masyarakat pluralisitk. Bisa jadi pandangan seperti ini menimbulkan sikap apriori terhadap madzhab-madzhab tersebut. Sikap inilah yang harus didobrak dengan teori kesempurnaan yang saling menyapa, yang juga merupakan salah satu focus dengan pintu paradigma kesempurnaan teori hukum, selain apa yang telah dipaparkan sebelumnya.
Pengetahuan para hukum (khususnya Indonesia) tidak mungkin akan melepaskan pemikiran-pemikiran dari beberapa madzhab itu secara keseluruhan. Ajaran setia madzhab merupakan basic knowledge untuk mengkontekskstualisasikan pemikiran mereka sesuai jiwa mereka. Dengan demikian, pemaknaan indepandent teori kesempurnaan hukum harus mengotorisasikan dirinya, sebagaimana layaknya tulisan Ahmad Behiej :
Melakukannya dengan cara mengolah kembali pandangan-pandangan dalam madzhab itu serta menyesuaikannya dengan konteks social di Indonesia. Ibarat seorang juru masak, dia mengambil beberapa bumbu masak dengan proporsi seimbang sehingga menghasilkan masakan yang lezat menurut lidah pemesa. Para pakar hukum Indonesia mengembangkan “masakan” Ilmu Hukum dari macam-macam “bumbu” madzhab hukum untuk menghasilkan produk yang sesuai dengan “cita rasa” Indonesia, atau juga.
Teori radikal yang dilakukan dengan membongkar ajaran-ajaran lama digantikan dengan ajaran yang baru sama sekali yang sesuai dengan kondisi sosial masyarakat Indonesia dan merumuskannya dalam ajaran yang disebut “madzhab Indonesia”[3].
Hal ini juga oleh Anton F. Susanto[4] dengan menawarkan paradigma baru dalam teori hukum, karena didasarkan dan melihat pluralisme dan diversitas (berbagai madzhab hukum) yang ada sebagai sebuah problem persepsi. Beliau mengembangkan gagasan consilience[5] dalam hukum sehingga melahirkan paradigma yang dinamakan “Paradigma Hukum Konstruktif-Transgresif” sebagai sebuah alternative, yaitu :
Paradigma hukum yang mencoba membuka kekuatan dan tabir yang menutup kuat dalam setiap model interpretasi terhadap hukum. Artinya paradigma ini mencoba membuka aspek-aspek yang signifikan dari kebutuhan hukum kontemporer saat ini, khususnya menyangkut upaya pencarian kebenaran. Konsep hukum dan keadilan tidak lagi dapat dibatasi pada tatanan itu sendiri. Konsep hukum dan keadilan menjadi tidak terbatas, tidak terkerangkeng dan terbuka luas melalui proses pemaknaan tidak pernah berhenti[6].
Proses keilmuan manusia terjadi karena bertemunya subjek ilmu dengan objek ilmu. Maka suatu ilmu pada dasarnya terdiri dari tiga unsur, subjek, objek dan pertemuan keduanya. Ketiga unsure dasar ini juga menjadi background yang menapaki, merambah dan menciptakan teori dalam dunia hukum. Ini pulalah yang memberikan nuansa warna dalam keberagaman madzhab hukum yang ada pada ranah saling mengklaim yang hanya menimbulkan ketidakberaturan antar teori. Hukum hendaknya dilihat sebagai sesuatu yang universal integralistik (indivudu dan alam semesta, kesukarelaan dan pengetahuan obyektif, akal dan intuisi, stabilitas dan perubahan, positivizm dan idealism, kolektivizm dan individualism, internasionalizm dan nasionalzm dan berbagai variable madzhab-madzhab lainnya).
Kepak sayap kupu-kupu di Brazil dapat menimbulkan Tornado di Texas. Benarkah…?. Setidaknya begitulah keyakinan dalam teori Chaos. Bila satu komponen kecil diubah dengan berjalannya waktu, maka duniapun akan terlihat berbeda. Satu Muhammad lahir dan Asia pun bangun dari mimpi jahiliah. Satu Yesus hadir dan seluruh dunia Barat pun berubah. Satu Gautama tercerahkan dan seluruh kepercayaan Hindu-Budha di India meluas. Satu Hitler muncul dan seluruh dunia terlibat dalam perang dahsyat yang menewaskan lebih dari 20 juta manusia[7].
Ungkapan di atas, dari sudut pandang teori chaos menggambarkan bahwa sebuah gerak walau sekecil apapun akan menimbulkan dampak sangat besar. Mungkin dampak tersebut tidak dapat dirasakan pada saat dan tempat yang diharapkan. Dari ketidakpastian, ketidakteraturan dan kekacauan dapat menjadi sumber inspirasi dan awal sebuah karya yang mempengaruhi jalannya sejarah. Seperti dikemukakan oleh Michel Serres dalam Genesis yang menyatakan bahwa :
Bila chaos hanya dipandang sebagai negatif chaos, ia tidak akan pernah dilihat sebagai sebuah peluang: peluang kemajuan, peluang dialektika kultural, peluang persaingan, peluang peningkatan etos kerja, peluang peningkatan daya kreativitas dan produktivitas. Chaos tidak akan pernah dilihat sebagai cara pemberdayaan, cara manajemen, cara pembelajaran, cara pengorganisasian dan lain sebagainya. Oleh karena itu chaos harus dipandang sebagai positif chaos[8].
Perubahan, ketidakpastian, ketidakberaturan, kekacauan bukan merupakan sesuatu yang menakutkan, karena menghilangkan ketidakberaturan itu berarti menghilangkan daya perubahan dan kreativitas. Sehingga dalam konteks hukum, teori kesempurnaan hukum menjadi titik temu yang diharapakan bisa meramu keberagaman perubahan dan kekacauan tersebut.Spesifikasi yang diciptakan dari teori kesempurnaan hukum adalah, bahwa kekuatan-kekuatan itu membutuhkan satu keteraturan platform yang akan membangun satu sinergi dalam keberagaman yang saling bergandeng tangan dalam konsep, ide, dukungan, yang melahirkan kebersamaan perbedaan dalam satu teori pendobrak yang utuh dan asli dalam konteks semua untuk satu.
[1] Esmi Warassih. 2005. Pranata Hukum Sebuah Telaah Sosiologis, Semarang : PT. Suryandaru Utama, Cet. I, Hal. VIII.
[2] Esmi Warassih, Ibid., Hal. IX.
[3] Ahmad Behiej. 2002. Refleksi & Relevansi Pemikiran Madzhab-Madzhab Hukum
Bagi Pengembangan Ilmu Hukum, Majalah Sosio-religia, Vol. 1, No. 4, September, Hal. 8.
[4] Anthon F. Susanto. 2007. Hukum Dari Consilience Menuju Paradigma Hukum Konstruktif-Transgresif, Bandung : PT. Refika Aditama.
[5] Baca buku Anthon F. Susanto yang berjudul Hukum Dari Consilience Menuju Paradigma Hukum Konstruktif-Transgresif . Beliau menulis dalam bukunya tersebut bahwa “Consilience” pertama kali dikembangkan oleh ahli biologi Edward O. Wilson yaitu tentang penyatuan atau pandangan holistic tentang pengetahuan. Karena gagasannya tersebut beliau dijuluki Nabi Biologi Baru setelah Charles Darwin. Gagasan dan konsep inilah yang yang oleh Anthon F. Susanto coba kembangkan dalam ranah hukum, sehingga Esmi Warassihpun mengatakan bahwa beliaulah yang pertama kali mengembangkan consilience dalam ilmu hukum (pengetahuan hukum yang tersatukan).
[6] Anthon F. Susanto. Ibid., Hal. 131.
[7] Roy Budi Efferin, Sains & Spiritualitas : Dari Nalar Fisika Hingga Bahasa Para Dewa, Jakarta : One Earth Media, Hal. 72.
[8] Yani Kusmarni. 2008. Makalah : Teori Chaos Sebuah Keteraturan Dalam Keacakan, Bandung : Universitas Pendidikan Indonesia, Hal. 1.
Terlepas dari perbedaan dan silang selisih antara beberapa paham (dalam hal ini kami mengangkat dua paham besar sebagai keterwakilan dari semuanya) – antara doctrinal dan nondoktrinal. Esmi warassih menjelaskan : “Sesungguhnya perbedaan tersebut hanya mau menununjukkan adanya perkembangan kreatifitas manusia dalam upayanya untuk membangun pemahaman yang benar tentang pranata yang namaya hukum itu”[1].
Tidaklah memadai kalau hukum hanya dilihat dari satu sudut pandang (perspektif) saja. Dengan segala kelebihan dan kelemahannya, semua perspektif yang dipakai untuk melihat diri hukum harus saling melengkapi dan saling menyapa, bukan saling menegasi dan saling mengklaim diri sebagai yang paling benar sendiri. Virus mau menang sendiri dalam studi hukum yang normative dan sosiologis tampaknya ikut mengganggu pola pikir para pakar hukum (akademisi) dan praktisi hukum. Perbedaan pandangan atau pendapat dalam dunia akademik (khususnya dunia hukum) merupakan sesuatu yang wajar, dan bahkan merupakan sesuatu yang dianjurkan, namun kalau sampai menegasi dan menghancurkan merupakan hal yang harus dihindarkan.
Hal inilah yang menjadi focus dalam konteks pintu paradigma kesempurnaan teori hukum yang sebagaimana Esmi Warassih mengatakan bahwa :
Strategi pendidikan hukum yang demikian itu dimaksudkan untuk bisa mendapatkan tampilan wajah hukum yang sesungguhnya. Itu berarti, baik studi-studi normative maupun sosiologis, antropologis, psikologis, politik, ekonomi dan sebagainya ikut dikembangkan bersama-sama… agar penggalan-penggalan wajah hukum yang dikemukakan olek masing-masing perspektif dapat disatukan menjadi satu kesatuan wajah hukum yang utuh[2].
Dengan menggunakan asumsi terbalik, ini berarti sesungguhnya pembodohan dirilah yang akan tampil jika penolakan pluralitas/keberagaman teori hukum dikedepankan dengan ego kebenaran tunggal. Untuk kebenaran paling benar, pemahaman dalam berdalih akan merupakan sebuah penyangkalan realitas diri hukum yang sebenarnya. Hukum harus tampil dalam teori diri yang tanpa topeng kerancuan dan keterbalikan akan keadaan diri sebagai pintu untuk menuju paradigma kesepurnaan dalam menciptakan teori hukum pendobrak yang membentuk keaslian diri hukum.
Merujuk pada madzhab-madzhab Ilmu Hukum yang dikenal, ada beberapa cara melakukan refleksi dan relevansi terhadapnya. Teori dan metode pendobrak sangat diharapkan dalam konteks masyarakat pluralisitk. Bisa jadi pandangan seperti ini menimbulkan sikap apriori terhadap madzhab-madzhab tersebut. Sikap inilah yang harus didobrak dengan teori kesempurnaan yang saling menyapa, yang juga merupakan salah satu focus dengan pintu paradigma kesempurnaan teori hukum, selain apa yang telah dipaparkan sebelumnya.
Pengetahuan para hukum (khususnya Indonesia) tidak mungkin akan melepaskan pemikiran-pemikiran dari beberapa madzhab itu secara keseluruhan. Ajaran setia madzhab merupakan basic knowledge untuk mengkontekskstualisasikan pemikiran mereka sesuai jiwa mereka. Dengan demikian, pemaknaan indepandent teori kesempurnaan hukum harus mengotorisasikan dirinya, sebagaimana layaknya tulisan Ahmad Behiej :
Melakukannya dengan cara mengolah kembali pandangan-pandangan dalam madzhab itu serta menyesuaikannya dengan konteks social di Indonesia. Ibarat seorang juru masak, dia mengambil beberapa bumbu masak dengan proporsi seimbang sehingga menghasilkan masakan yang lezat menurut lidah pemesa. Para pakar hukum Indonesia mengembangkan “masakan” Ilmu Hukum dari macam-macam “bumbu” madzhab hukum untuk menghasilkan produk yang sesuai dengan “cita rasa” Indonesia, atau juga.
Teori radikal yang dilakukan dengan membongkar ajaran-ajaran lama digantikan dengan ajaran yang baru sama sekali yang sesuai dengan kondisi sosial masyarakat Indonesia dan merumuskannya dalam ajaran yang disebut “madzhab Indonesia”[3].
Hal ini juga oleh Anton F. Susanto[4] dengan menawarkan paradigma baru dalam teori hukum, karena didasarkan dan melihat pluralisme dan diversitas (berbagai madzhab hukum) yang ada sebagai sebuah problem persepsi. Beliau mengembangkan gagasan consilience[5] dalam hukum sehingga melahirkan paradigma yang dinamakan “Paradigma Hukum Konstruktif-Transgresif” sebagai sebuah alternative, yaitu :
Paradigma hukum yang mencoba membuka kekuatan dan tabir yang menutup kuat dalam setiap model interpretasi terhadap hukum. Artinya paradigma ini mencoba membuka aspek-aspek yang signifikan dari kebutuhan hukum kontemporer saat ini, khususnya menyangkut upaya pencarian kebenaran. Konsep hukum dan keadilan tidak lagi dapat dibatasi pada tatanan itu sendiri. Konsep hukum dan keadilan menjadi tidak terbatas, tidak terkerangkeng dan terbuka luas melalui proses pemaknaan tidak pernah berhenti[6].
Proses keilmuan manusia terjadi karena bertemunya subjek ilmu dengan objek ilmu. Maka suatu ilmu pada dasarnya terdiri dari tiga unsur, subjek, objek dan pertemuan keduanya. Ketiga unsure dasar ini juga menjadi background yang menapaki, merambah dan menciptakan teori dalam dunia hukum. Ini pulalah yang memberikan nuansa warna dalam keberagaman madzhab hukum yang ada pada ranah saling mengklaim yang hanya menimbulkan ketidakberaturan antar teori. Hukum hendaknya dilihat sebagai sesuatu yang universal integralistik (indivudu dan alam semesta, kesukarelaan dan pengetahuan obyektif, akal dan intuisi, stabilitas dan perubahan, positivizm dan idealism, kolektivizm dan individualism, internasionalizm dan nasionalzm dan berbagai variable madzhab-madzhab lainnya).
Kepak sayap kupu-kupu di Brazil dapat menimbulkan Tornado di Texas. Benarkah…?. Setidaknya begitulah keyakinan dalam teori Chaos. Bila satu komponen kecil diubah dengan berjalannya waktu, maka duniapun akan terlihat berbeda. Satu Muhammad lahir dan Asia pun bangun dari mimpi jahiliah. Satu Yesus hadir dan seluruh dunia Barat pun berubah. Satu Gautama tercerahkan dan seluruh kepercayaan Hindu-Budha di India meluas. Satu Hitler muncul dan seluruh dunia terlibat dalam perang dahsyat yang menewaskan lebih dari 20 juta manusia[7].
Ungkapan di atas, dari sudut pandang teori chaos menggambarkan bahwa sebuah gerak walau sekecil apapun akan menimbulkan dampak sangat besar. Mungkin dampak tersebut tidak dapat dirasakan pada saat dan tempat yang diharapkan. Dari ketidakpastian, ketidakteraturan dan kekacauan dapat menjadi sumber inspirasi dan awal sebuah karya yang mempengaruhi jalannya sejarah. Seperti dikemukakan oleh Michel Serres dalam Genesis yang menyatakan bahwa :
Bila chaos hanya dipandang sebagai negatif chaos, ia tidak akan pernah dilihat sebagai sebuah peluang: peluang kemajuan, peluang dialektika kultural, peluang persaingan, peluang peningkatan etos kerja, peluang peningkatan daya kreativitas dan produktivitas. Chaos tidak akan pernah dilihat sebagai cara pemberdayaan, cara manajemen, cara pembelajaran, cara pengorganisasian dan lain sebagainya. Oleh karena itu chaos harus dipandang sebagai positif chaos[8].
Perubahan, ketidakpastian, ketidakberaturan, kekacauan bukan merupakan sesuatu yang menakutkan, karena menghilangkan ketidakberaturan itu berarti menghilangkan daya perubahan dan kreativitas. Sehingga dalam konteks hukum, teori kesempurnaan hukum menjadi titik temu yang diharapakan bisa meramu keberagaman perubahan dan kekacauan tersebut.Spesifikasi yang diciptakan dari teori kesempurnaan hukum adalah, bahwa kekuatan-kekuatan itu membutuhkan satu keteraturan platform yang akan membangun satu sinergi dalam keberagaman yang saling bergandeng tangan dalam konsep, ide, dukungan, yang melahirkan kebersamaan perbedaan dalam satu teori pendobrak yang utuh dan asli dalam konteks semua untuk satu.
[1] Esmi Warassih. 2005. Pranata Hukum Sebuah Telaah Sosiologis, Semarang : PT. Suryandaru Utama, Cet. I, Hal. VIII.
[2] Esmi Warassih, Ibid., Hal. IX.
[3] Ahmad Behiej. 2002. Refleksi & Relevansi Pemikiran Madzhab-Madzhab Hukum
Bagi Pengembangan Ilmu Hukum, Majalah Sosio-religia, Vol. 1, No. 4, September, Hal. 8.
[4] Anthon F. Susanto. 2007. Hukum Dari Consilience Menuju Paradigma Hukum Konstruktif-Transgresif, Bandung : PT. Refika Aditama.
[5] Baca buku Anthon F. Susanto yang berjudul Hukum Dari Consilience Menuju Paradigma Hukum Konstruktif-Transgresif . Beliau menulis dalam bukunya tersebut bahwa “Consilience” pertama kali dikembangkan oleh ahli biologi Edward O. Wilson yaitu tentang penyatuan atau pandangan holistic tentang pengetahuan. Karena gagasannya tersebut beliau dijuluki Nabi Biologi Baru setelah Charles Darwin. Gagasan dan konsep inilah yang yang oleh Anthon F. Susanto coba kembangkan dalam ranah hukum, sehingga Esmi Warassihpun mengatakan bahwa beliaulah yang pertama kali mengembangkan consilience dalam ilmu hukum (pengetahuan hukum yang tersatukan).
[6] Anthon F. Susanto. Ibid., Hal. 131.
[7] Roy Budi Efferin, Sains & Spiritualitas : Dari Nalar Fisika Hingga Bahasa Para Dewa, Jakarta : One Earth Media, Hal. 72.
[8] Yani Kusmarni. 2008. Makalah : Teori Chaos Sebuah Keteraturan Dalam Keacakan, Bandung : Universitas Pendidikan Indonesia, Hal. 1.