(Sejarah akan berulang dan politik tak pernah henti).
Suatu realitas dalam aktualisasi sebuah kebebasan yang terbuka merupakan instrument dari era multipartai dengan eskalasi konflik ideology, moral serta tantangan-tantangan lainnya yang lebih kompleks kepada sikap hidup dan perilaku kelompok masyarakat yang terlampau bebas pada pemaksaan kepentingan, bahkan mengganggu kebebasan sesamanya. Kebebasan yang berlebihan pasti akan merusak ekosistem kebebasan kelompok lainnya dan cenderung mengarah pada konflik dan disintegrasi komunitas.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa secara internal kultus pribadi kader & internal kepartaian bukan hanya sekedar symbol, atau keyakinan yang dipegang teguh dengan segala dampak dan resikonya dalam realita, bahkan lebih dianggap sebagai suatu intelektual power untuk memimpin. Sungguh irasional.
Timbul satu pertanyaan, kenapa parpol tidak kritis berpikir, juga pada implikasi-implikasi negatifnya.
Berangkat dari pertanyaan tersebut. Idealnya parpol sebenarnya harus dapat membangun sebuah kerangka rasional program yang dikomparasikan antara implikasi positif dengan implikasi negatifnya. Program-program yang dipandang ideal oleh parpol tersebut merupakan wujud klasifikasi positifnya saja, sedangkan wujud negatifnya adalah konsekuensi dari pencapaian riil rangkaian pelaksanaan tujuan program yang diagendakan dengan tetap memperhitungkan kondisional diferensialnya. Logikanya, ketika agenda program dihinggapi polusi pada fase pencapaian tujuan, kemungkinan-kemungkinan yang akan timbul pada distabilisasi fase, harus dapat disterilkan dan sekaligus menjadi stabilisator sebagai suatu alternative pokok yang dijadikan sebuah agenda program.
Sebagai satu contoh kerangka logika program yaitu :
“Pencerahan dan Pencerdasan Demokrasi Melalui Pendidikan Publik”.
Antara lain meliputi : “Pembelajaran dan Pendewasaan Demokrasi serta Pendidikan Politik Masyarakat Pemilih”.
Beberapa implikasi dari satu contoh logika program tersebut yaitu :
1. Kemungkinan sentral adalah tercapainya positifitas program tersebut sampai pada fase pencapaian riil tujuan program.
2. Kemungkinan terjadinya ramifikasi/percabangan realitas program pada pendidikan khusus penderita buta aksara dan klasifikasinya.
3. Kemungkinan, - apakah program ini hanya sebuah konsep-konsep teoritis saja, bagaimana dengan metodelogi intens dan sosialisasi terhadap masyarakat awam yang serba heterogen.
4. Kemungkinan tidak tercapainya program secara totalitas dan atau standaritas dari tujuan program tersebut.
5. Kemungkinan lainnya yang harus diagendakan dan difokuskan adalah kecenderungan-kecenderungan negative yang akan terjadi dari kondisionalnya pencapaian suatu tujuan program.
Dari analisa program ini, terkadang hal-hal tersebut diatas terlupakan atau memang sengaja untuk dilupakan dan atau ditiadakan dari agenda program parpol. Lebih-lebih lagi implikasi positif dan kemungkinan-kemungkinan akan pencapaian tujuan program merupakan factor yang memang diharapkan. Akan tetapi bagaimana dengan implikasi negative yang memang factor ini adalah sebuah kemungkinan yang akan timbul dan berdampak pada tidak tercapainya tujuan program, minimal standart dasar pencapaian program tersebut tidak terpenuhi. Analisa lainnya adalah sebuah kekhawatiran akan program yang sama sekali tidak dilaksanakan dan atau hanya dilaksanakan saja tanpa mencermati pencapaian hasil dari tujuan program tersebut ; atau simpelnya istilah sekarang biasa dan sering disebut “Yang Penting Program Selesai, Hasilnya Bisa Direkayasa”.
Agenda kompleks lainnya yang perlu menjadi topic program parpol yang selama ini dilupakan adalah eksistensi riil partai politik itu sendiri dalam masyarakat secara kontinyuitas. Bukan hanya eksistensinya pada saat pra dan pasca Pemilu/Pilkada saja yang hanya berjalan sangat singkat, melainkan kontinyuitas yang kenyataannya terukur secara aplikatif dalam kehidupan masyarakat.
Alhasil, pesta demokrasi daerah PILKADA KOTA BIMA yang saat-saat ini ditunggu dan dinantikan layaknya drama, telenovela ataupun sepakbola piala dunia ; hanya saja yang lebih antusias dan gregetan menunggu adalah komunitas partai politik dan bakal calon kepala daerah dengan berbagai intrik & strategi pada konsep intelek & aplikasinya masing-masing, bergerilya atau sebaliknya, semua sudah dimatangkan sejak awal layaknya senjata karbitan. Bagi parai politik sendiri, konteks pesta demokrasi saat ini menjadi ladang potensial mereka untuk berdrama ria dengan perannya masing-masing. Kepribadian actor antagonis dan protogonis dilakoni kedua-duanya dengan mimic yang fasih dan berdedikasi. Seakan mengatakan kami nyata adalah Oposisi, justru di sisi lain mengatakan kami nyata adalah partai Idealis.
Moment-moment terwahid pesta daerah saat ini, masyarakat betul-betul disanjung, diagungkan sekaligus dihipnotis dan dicekoki dengan berbagai doktrin sesaat ; masyarakat ibaratnya komunitas makhluk yang mati yang dibangkitkan kembali untuk hidup sementara (makhluk remanen) pada konteks tertentu seperti sekarang ini yang oleh mereka (partai politik beserta bakal calon kepala daerah yang diusung & didukung) dijadikan obyek mati bernyawa sekaligus alat mobilitas massa partai dengan menempatkannya pada posisi eksploitasi social politik. Pendekatan mobilisasi yang cenderung mengukuhkan masyarakat sebagai komunitas pasif oleh aparatus partai pada penciptaan ruang public (public spare) masyarakat yang terpasung secara terhormat, habis manis sepah dibuang.
Realitas membuktikan, dominasi masyarakat muncul dalam triple face yang yang saling berlawanan :
1. Idealisme pada prinsip & ketetapan diri sebagai sebuah keputusan mutlak tanpa terbebani oleh sesuatu apapun.
2. Fanatisme, egosentris & anti kemanusiaan, leberasi dalam mobilitas massa partai, karena yang terpenting adalah saku celana tidak kosong.
3. Munculnya berbagai penawaran dalam bentuk doktrinasi janji, melahirkan manusia yang betul-betul kritis pada golput. Bentuk kritis akibat doktrinasi, hingga tingkat error & upredictability (ketidakmampuan untuk dipikirkan) ; masyarakat menjadi hantu psikologis yang membebani pikiran mereka sendiri.
Keberagaman sebab akibat bebagai problem tersebut adalah keharusan partai politik tuk mencari solusinya …
Ini adalah agenda utama partai politik yang harus dibangun dalam bentuk-bentuk ekstra parlement dan ekstra program, untuk menyegarkan kembali state of mind kolektif pergerakan intelektualitas partai. Jangan hanya msyarakat dibutuhkan pada pada saat tertentu saja tetapi harus kontinyuitas sebagai pola organic politik partai kerakyatan sesungguhnya dan dijadikan sebuah keharusan dan kemestian secara totalitas. Dimensi-dimensi yang juga sangat perlu diterjemahkan adalah membangun hubungan persuasive dengan msyarakat tanpa memandang moment-moment tertentu, transformasi kader partai secara terarah dalam masyarakat guna menciptakan advokasi public dengan mengedepankan politik kerakyatan secara kontinyu pula.
Keterlibatan masyarakat secara utuh sangat perlu dalam menciptakan public spare (ruang public) yang bebas pada bingkai standaritas social politik. Yang tidak kalah pentingnya juga adalah agenda program yang konstruksional pada pendidikan kesadaran kritis msyyarakat kelas bawah (grass root) dalam bentuk komunitas edukasi aktif sebagai perwujudan demokratisasi pendidikan msyarakat.
Dengan demikian eksistensi pada fleksibilitas fenomen-fenomena yang dusesuaikan dengan kenyataan yang semestinya harus dilakukan adalah rasionalitas kerakyatan social politik.
Kualitas Bukanlah Suatu Hal Tertentu Namun Sebuah Aura, Atmosfer, Perasaan Yang Kuat Yang Menunjukkan Bahwa Sebuah Eksistensi Telah Dilakukan
(Jack Welch).
Dimuat pada harian Suara Mandiri No. 981 Tahun III, Jum’at 14 Maret 2008
Penulis :
YUDDIN CHANDRA NAN ARIF, SH.
Ø Departemen Humas Pemuda Muhammadiyah Kota Bima.
Ø (Lembaga Pengkajian Intelektual) “LPI” Bima.
Ø Staff Dosen STIH Muhammadiyah Bima.