Justifikasi akan perbedaan-perbadaan makna dan nilai konstruktif dan destruktif demokrasi kerakyatan dimainkan pula di dalamnya. Peleburan-peleburan perbedaan makna dan nilai PILKADApun berdiri pada spiritnya masing-masing. Warna-warni simbol dan lambang kebesaran mendeskripsikan iklim politik Kota Bima secara integral-holistik dan dengan merefleksikannya pada ruang dan waktu yang telah dikantongi pada alur yang tertib secara legal politis.
Masyarakat (grass root, midle dan high class), lembaga-lembaga demokrasi, elit politik dan hukum, terutama para calon kandidat telah memiliki konsep masing-masing yang telah dirancang bangun dengan versi dan tipikal beragam yang siap dijadikan dan menjadikan ataupun diterima dan menerima sebagai komoditas yang marketable. Semua ini adalah pertarungan sekaligus perebutan yang sangat ekstrem pada kesadaran historis empiris manusia. Aktif dan pasif menunjukkan kesahihannya dalam skema variasi hidup untuk menyadari obyektifitas subyektif dan atau subyektifitas obyektif sebagai sebuah verifikasi penafsiran pada personal maupun intelektual peradaban kolektif demokrasi khususnya PILKADA Kota Bima.
Perebutan ideologi klasik dan kontemporer adalah juga out put ramifikasi dari kancah perpolitikan nasional yang menggurita ke daerah-daerah. Desentralisasi pola dan metode idealitas dan realitaspun merembet ke berbagai lini politik kedaerahan khususnya PILKADA yang kemudian dijadikan warisan nasional yang memungkinkan absurdnya PILKADA yang berdampak pada identity masyarakat yang begitu pluralistik.
Berbagai hal-hal dan fenomena teoritis dan praxis diatas merupakan sebagian kecil manifesto yang begitu liquid tersebar dalam bentuk-bentuk yang berevolusi seiring dinamisasi perpolitikan nasional dan regional kedaerahan. Bentuk-bentuk perpanjangan itu tampil dengan identitas kompleks yang memiliki posisi pemahaman yang tetap beresensi pada ideologi idealisme dan realisme sebagai mater sentral isme.
Ad infinitumnya (tak terbatasnya) esensi yang terkandung didalamnya bergelayut dalam posisi dan keberadaan anak-anak asuhannya dalam konsep yang bernilai aplikasi pada standart intelektualitas abstraktif dengan watak dan karakter yang mempengaruhi posisi manusia (masyarakat).
Pada moment-moment penting inilah kualitas manusia (khusunya masyarakat Kota Bima) dipertanyakan juga sekaligus dipertaruhkan oleh term-term tersebut diatas ; Apakah Ini..., Ataukah Itu..., Idealisme ataukah Realisme. Tarik menarik kedua isme tersebut telah dipengaruhi oleh bentuk-bentuk formal maupun non formal, berkepentingan, setengah-setengah maupun sama sekali tidak memiliki kepentingan - kesemuanya selalu dibayangi oleh ”Azas Manfaat Personality dan kolektifity”. Biasanya Masyarakat awam mengatakan : Aji Mumpung Ke..., Ntawi Ndakena..., Bune Ai Wali..., Be Ma’mbei Piti Mpake..., Aina’du Paresa...eeeee..... Tanpa kita sadari, pengaruh kedua bentuk-bentuk isme tersebut dengan berbagai metode pendekatannya juga modus penyusupannya pada masyarakat telah berhasil menjadikan masyarakat sebagai manusia labirin yang berada dalam situasi kehilangan identitas diri (Konteks PILKADA).
Ini berlaku untuk semua manusia ; Kalau Ini... Saya Akan Begini ..., Kalau Itu... Saya Pasti Begitu... (mana yang paling benar dan lebih baik : ”Begini” atau ”Begitu”). Deep thinking komunity sebagian personal minoritas berkomitment : Saya Tidak Akan Begini..!! ataupun Saya Tidak Akan Begitu..!!
Manusia akan terus menerus dihadapkan pada pilihan-pilihan, akan tetapi esensi diri sebagai rumusan yang pasti, harus mampu menunjukkan eksistensi prinsipil – Inilah Aku dan Kata-Kataku. Aku adalah Eksistensi Kata-Kataku dari Hati. Aku dan Kata-Kataku adalah Satu. Biarlah orang mengatakan Aku Adalah Budak dari Kata-Kataku Sendiri, yang terpenting adalah Aku Bukanlah Tipikal Manusia yang Menjilati Ludah ataupun Kata-Kataku Sendiri.
Menarik benang merah dari semuanya, term ini sengaja dilemparkan pada sesuatu yang sudah dan sedang berjalan dalam mencari posisinya perindividu masyarakat, sehingga masyarakatpun dihadapkan pada kebimbangan pribadi sebagai hantu psikologis.
Apa dan bagaimana individu masyarakat, harus bisa menempatkan posisi idealnya sebagai sebuah kehadiran diri yang apa adanya sebagai makhluk yang ada maupun sub makhluk yang mungkin akan ada dan ataupun tidak ada. Modalitas personality insanilah yang mampu meredam dan menengahi pertentangan idealisme dan realisme baik konteks fisikal dan spiritual manusia dan atau konteks kekuasaan dunia mapun akhirat. Ini bukanlah sebuah kefaktaan yang tertunda, ini adalah kefaktaan yang sudah sedang berjalan pada dunia das sein dan das sollen.
Tetapi tidak sebagaimana yang kita bayangkan, sebuah hasil dari berbagai problematika proses demokrasi yang panjang dan susah payah, perebutan kekuasaan antara idealisme dan realisme yang terjadi di masyarakat maupun pemegang kekuasaan (pemimpin) dipinjam sebagai sebuah simbol untuk sesuatu yang sosiologis sifatnya pada pranata status diri, daripada tujuan-tujuan esensi intelektual dengan mengaburkan makna dan nilai kedua isme tersebut untuk menemukan isme baru sebagai peleburan keduanya pada pengukuhan otoritas berdemokrasi yang entah ”Berkeadilan Pribadi” atau ”Berkeadilan Sosial Masyarakat”.
PILKADA Kota Bima yang dalam hitungan jari akan segera di gelar – sudah seharusnya diperlukan manusia-manusia yang dewasa dalam berpikir dan bersikap ; tua ataupun senior belum tentu dewasa dalam berpikir, karena berpikir mendalam mebutuhkan meditasi diri dalam merancang kerangka pikir dan menetapkan dalam rumusan-rumusan keputusan diri yang tegas. Manusia tidak dibedakan oleh tua dan muda, tetapi kedewasaan berpikir yang menjadi pembedanya sebagai konstruksi untuk memahami segalanya.
Totalitas pemahaman diri dalam menyikapi suasana perpolitikan adalah sebagai hukum kodrat manusia pemegang kekuasaan tertinggi demokrasi dalam manifestonya pada moralitas yang sebenar-benarnya hingga menjadi kebenaran yang berlaku umum.
Perebutan kekuasaan antara idealisme dan realisme adalah struktur yang akan bisa saja merekonstruksi ataupun mendestruksi strukturalisme intelektual berpikir kita dengan meyerang akar-akar filosofisnya dalam demokrasi PILKADA Kota Bima. Kedua isme tersebut merupakan situasi yang selalu termunculkan pada konteks apapun pada tiap-tiap proses dan periode peradaban, dengan tidak berasumsi bahwa ini semua adalah absurditas belaka. Sebaliknya, justru pertarungan kedua isme ini adalah pertarungan alam abstraksi yang terinternalisasi pada respon dan respek diri untuk menyadari sejauh mana penguasaan dan pengendalian diri dengan kekuatan pengaruh situasi dan kondisi lahiriah alam nyata (riil).
Reputasi, kredibilitas dan pengakuan eksisitensi diri pada popularitas selalu ditonjolkan untuk sebuah kebutuhan nilai diri yang remanen pada kesemuan belaka (kepentingan duniawi) dengan mengesampingkan standart kesejatian diri, norma moral dan imanenist fitrah kepositifan diri manusia. Pertarungan untuk memperebutkan sebuah dediksi pengakuan kemenangan penganut isme salah satunya merupakan fatamorgana kebuntuan akan ketidakmampuan diri untuk tampil dengan dasar-dasar keterciptaan diri yang beginilah adanya tanpa dipengaruhi oleh doktrin-doktrin yang menyesatkan dan dapat mengubur identitas asli manusia yang begitu sempurnanya.
Doktrin-doktrin dari beberapa isme hanya dijadikan sebagai referensi dalam memperkaya khasanah scientiarum dan makna keberadaan diri untuk bereksistensi. Tidak bisa dipungkiri, keduniaan selalu ditantang untuk sebuah kesempurnaan peradaban. Persamaan dan perbedaaan, pertautan dan pertentangan, agree dan disagree ataupun juga perbaikan dan pengerusakan, semua ini sebagian kecil dari hal-hal yang menguasai manusia sebagai pelaku dunia umumnya dan dunia politik demokrasi khususnya.
Akhir kata, inilah kesempurnaan yang sebenarnya. Keharmonisan dan ketidakharmonisan merupakan kesempurnaan dalam kefanaan dunia ini. Penguatan menyikapi adalah ”Best Solution”, tanpa harus ada yang dipertaruhkan dan dikorbankan pada keadaan diri yang hakekat. Imitasi dan kesemuan adalah kegagalan diri yang sesungguhnya. Idealisme dan realisme akan sadar dengan sendirinya oleh nilai dan makna internalitas pada doktrin ajarannya.
Dimuat pada harian Suara Mandiri, Rabu 17 Mei 2008
Penulis :
YUDDIN CHANDRA NAN ARIF, SH.
Staff Dosen STIH Muhammadiyah Bima
Pemuda Muhammadiyah Kota Bima
Lembaga Pengkajian Intelektual (LPI) Bima